Rabu, 27 November 2013

Tari Laesan di Lasem, Rembang.


Oleh Miftakhul Yuni Hapsari
NIM 1102413031
 Di tanah Jawa ini mempunyai aneka regam kesenian yang tersebar di daerah-daerah, tidak terkecuali di desa-desa kecil. Hasil kesenian yang banyak macamnya itu mempunyai corak yang beda-beda sesuai dengan sifat dan kepribadian masyarakat itu. Perbedaannya sifat dan kepribadian masyarakat dipengaruhi dengan beberapa hal yang cocok dengan sesuatu di lingkungannya mungkin alam, sosial, apa budaya sehingga mempunyai dampak juga di karya seni daerah tersebut. Tidak disangka di desa Soditan kecamatan Lasem Kabupaten Rembang ada budaya kesenian Laesan. Budaya Laesan yaitu salah satunya budaya kesenian tradisional rakyat dari hasil ekspresi estetis masyarakat  desa soditan  Kabupaten Rembang sampai fenomena trance di dalam. Laesan berubah menjadi Laisan karena adanya dialog dari masyarakat setempat. Mungkin dilihat sampai cara Morfologis, laesan asalnya dari ukara Lais yang dapat pungkasan –an. Lalis yang artinya “mati” dan an berarti “sepert berpura-pura meninggal” (Poerwadarminta 1983: 258). Di zaman nenek moyang kita, budaya laesan dimainkan sesudah melakukan di musim panen dari hasil bumi untuk mensyukuri nikmat yang sudah diberikan tuhan dan biasanya juga dimainkan waktu malam satu syura karena ini jaman dulu belum ada lampu dan di malam satu syura itu malam yang padang. Budaya Laesan yaitu budaya yang genap karena budaya Laesan masuk seni yang di dalam pertunjukan dari semuanya mengandung kaindahan dan nilai atau makna tersendiri. Kesenian Laesan yaitu tontonan tari yang erat hubungannya dengan kepercayaan terhadap roh yang diminta untuk membantu memberi kekuatan dari pemenari Laesan sehingga pemenari bisa memenari karena kesurupan roh yang dianggap bidadari. Di sewaktu pertunjukan laesan tidak lepas dari ritual untuk memberi kekuatan mistik atau magis di dalam pertunjukan Laesan. Kesurupan yaitu jenis gejala kerasukan roh yang umum sekali dan bagian bagian paling banyak dari kasus –kasus seperti itu. (Geertz, 1981 : 24). Sebelum Laesan dimainkan, di dalam permainan budaya Laesan ini dibutuhkan alat-alat yang masih tradisional yaitu: 3 glondongan bambu kecil yang kira-kira panjangnya 32 cm, jun (tempat air yang terbuat dari tanah) satu ukuran kecil dan jun ukuran besar satu, sangkar ayam yang sudah ditutup dengan kain putih atau mori, dan sesajen dilengkapi pisang emas satu tandan dan bunga-bungaan atau kemenyan. Di pagelaran budaya Laesan menceritakan tentang kehidupan di dunia ada tiga tahap. Yang nomer satu yaitu Laes dimasukkan sangkar. Itu menceritakan sosok bayi yang masih dikandung oleh ibu. Yang kedua yaitu pada saat sangkar dibuka dan diibratkan manusia lahir di dunia dan ada di dalam kehidupan dunia. Yang ke tiga  atau penutup yaitu tahap pengobatan. tahap ini menceritakan mungkin manusia di dunia tidak dipungkiri juga pernah ngalami sakit akhirnya manusia sesudah hidup di dunia maka manusia harus menemui kematian. Urutan pagelaran seperti itu tidak bisa diacak atau tidak diurutke, harus seperti itu urutannya: Awal pertunjukan sesudah melihat kumpul sampai posisi melingkar dan alat semuanya sudah disiapkan, maka pimpinan pertunjukan menhampiri pawang yang menjadi pemenari laesan (LAES) untuk masuk tempat pertunjukan. Laes masuk dan duduk di tengah tempat pementasan kemudian badannya ditali menggunakan tali bersama mengucapkan tembang pembuka yang berbunya ”Lailahaillallah Muhammadurrasulullah pengerane gawe laes” sampai diulang-ulangi. Sesudah itu, di saat sepi dan tenang (konsentrasi) kemudian Laes dimasukkan di dalam sangkar yang sudah ditutupi dengan kain mori dan di dalamnya ada kemenyan atau dupa yang sudah dibakar dan juga ada baju ganti. suara alat musik terus mengalun sambil menunggu sangkar mau bergerak. Mungkin sangkar tadi sudah bergerak maka itu tanda Laes sudah mengalami masa trance dan pertanda mungkin Laes meminta supaya cantrik ganti lagu “lepasno bandhan niro ini sari laes”. Kemudian pimpinan pertunjukan meminta kepada panembang supaya lagunnya diganti lagu bandan (dodadan tali). Setelah sangkar bergerak, cantrik bukak sangkar supaya Laes tidak dilihat oleh penonton. Sesudah Laes ini keluar dari dalam sangkar sudah keadaan mata terpejam, semua badan Laes yang diikat tali mulai dari leher, badan dan tangan tiba-tiba sudah lepas sampai mata terpejam dan Laes sudah ganti baju dan ganti yang sebelum sudah diletakkan di dalam sangkar tersebut. Kejadian itu hanya simbolik / tanda mungkin sudah bergabungnya badan Laes dan bidadari. Karena badan Laes sudah lepas dari ikatan tali, kemudian Laes memenari mengelilingi tempat pertunjukan dengan mata terpejam. Laes akan berhenti menari pada saat lagu dinyanyikan sampai salah dan pawongan yang menabuh melakukan ritual, seperti : penyanyi fals saat menyanyikan lagu, penabuh tidak bisa mengiringi lagu yang dinyanyan dan saat penonton rame (nyuwara banter). Di waktu itu kadadean tersebut kejadian, maka Laes mengamuk dan jatuh atau gelimbungan di tanah dan dimasukkan didalam sangkar lagi. Setiap Laes dimasukkan dalam sangkar, ini pertanda mungkin Laes meminta ganti tembang-tembang lainnya. Tembang-tembangnya seperti tembang kembang manggis, kembang tebu, tambak lebak, kembang turi, kendi pati dan sebagainya. Saat Laes sudah dimasukkan di sangkar kemudian ditunggu sampai Laes berontak meminta dikeluarkan dari sangkar kersebut. Yang kedua yaitu isi yang ada beberapa permainan, seperti : jaran dhawuk, santrine adol gambir, santrine ajar pencak, celeng boleng dan sebagainya. Dari beberapa permainan tersebut tersebut mempunyai lagu khas sendiri-sendiri. Seperti permainan jaran dhawuk yaitu permain yang membayangkan menaiki kuda. Kuda di sini menggunakan  alat sapu kelut. Santrin penjual gambir menggunakan perkakas tampah yang diisi sesajen. Permainan ini menceritaka pawongan yang berjualan gambir. Dan santrinnya belajar pencak kehidupan jaman dulu. Dan tahap kedua ini yang menggambarkan manusia yang hidup di dunia ini seperti berjualan yang di istilah jawannya yaitu “urip di ndonyo mung mampir ngombe” karena besok kita pasti kembali kepada Pangeran yang menciptakan hidup. Maka, pertunjukan Laesan ini hanya untuk mengingatkan dengan paraga laesan atau pamiarsa untuk bertindak baik karena kita pasti kembali kepada Pangeran yang menciptakan hidup dan akan dimintai pertanggungjawaban apapun  yang sudah kita kita lalui di dunia ini. Tahap terakhir yaitu penutupan dari pertunjukan Budaya Laesan untuk penutupan, pemimpin pertunjukan mengembalikan Laes supaya sadar seperti sebelumnya. Kemenyan yang ada di pinggir tempat pentas dikipasi lagi supaya asapnya mengepul dan keluar. Sesudah asap mengepul, Laes ditutup lagi dengan sangkar yang sudah penuh dengan asap kemenyan. Sadarnya Laes ditandai dengan Laes yang sudah tidak mengalami masa trance. Selesailah semua pementasan Budaya Kesenian Laesan. Namun, tahap ini juga mempunyai ciri khas yaitu ada di tembang SAYUNG-SAYUNG yaitu : lara tangis layung-layung, larane wong wedi mati sapa bisa ngeldina kejaba pengeran kula.
Pada tahap ini ngengetaken madawa mesthine kita sawektu-wektu tidak bisa mlayu dari syakaratulmaut atau kita mesrhi balik marang Pangeran yang gawe urip ini.

2 komentar: