Oleh Miftakhul
Yuni Hapsari
NIM 1102413031
Di tanah Jawa ini
mempunyai aneka regam kesenian yang tersebar di daerah-daerah, tidak terkecuali
di desa-desa kecil. Hasil kesenian yang banyak macamnya itu mempunyai corak
yang beda-beda sesuai dengan sifat dan kepribadian masyarakat itu. Perbedaannya
sifat dan kepribadian masyarakat dipengaruhi dengan beberapa hal yang cocok
dengan sesuatu di lingkungannya mungkin alam, sosial, apa budaya sehingga
mempunyai dampak juga di karya seni daerah tersebut. Tidak disangka di desa
Soditan kecamatan Lasem Kabupaten Rembang ada budaya kesenian Laesan. Budaya
Laesan yaitu salah satunya budaya kesenian tradisional rakyat dari hasil
ekspresi estetis masyarakat desa
soditan Kabupaten Rembang sampai
fenomena trance di dalam. Laesan berubah menjadi Laisan karena adanya dialog dari
masyarakat setempat. Mungkin dilihat sampai cara Morfologis, laesan asalnya dari
ukara Lais yang dapat pungkasan –an. Lalis yang artinya “mati” dan an berarti “sepert
berpura-pura meninggal” (Poerwadarminta 1983: 258). Di zaman nenek moyang kita,
budaya laesan dimainkan sesudah melakukan di musim panen dari hasil bumi untuk
mensyukuri nikmat yang sudah diberikan tuhan dan biasanya juga dimainkan waktu
malam satu syura karena ini jaman dulu belum ada lampu dan di malam satu syura
itu malam yang padang. Budaya Laesan yaitu budaya yang genap karena budaya
Laesan masuk seni yang di dalam pertunjukan dari semuanya mengandung kaindahan
dan nilai atau makna tersendiri. Kesenian Laesan yaitu tontonan tari yang erat
hubungannya dengan kepercayaan terhadap roh yang diminta untuk membantu memberi
kekuatan dari pemenari Laesan sehingga pemenari bisa memenari karena kesurupan
roh yang dianggap bidadari. Di sewaktu pertunjukan laesan tidak lepas dari
ritual untuk memberi kekuatan mistik atau magis di dalam pertunjukan Laesan.
Kesurupan yaitu jenis gejala kerasukan roh yang umum sekali dan bagian bagian paling
banyak dari kasus –kasus seperti itu. (Geertz, 1981 : 24). Sebelum Laesan dimainkan,
di dalam permainan budaya Laesan ini dibutuhkan alat-alat yang masih
tradisional yaitu: 3 glondongan bambu kecil yang kira-kira panjangnya 32 cm,
jun (tempat air yang terbuat dari tanah) satu ukuran kecil dan jun ukuran besar
satu, sangkar ayam yang sudah ditutup dengan kain putih atau mori, dan sesajen dilengkapi
pisang emas satu tandan dan bunga-bungaan atau kemenyan. Di pagelaran budaya
Laesan menceritakan tentang kehidupan di dunia ada tiga tahap. Yang nomer satu
yaitu Laes dimasukkan sangkar. Itu menceritakan sosok bayi yang masih dikandung
oleh ibu. Yang kedua yaitu pada saat sangkar dibuka dan diibratkan manusia
lahir di dunia dan ada di dalam kehidupan dunia. Yang ke tiga atau penutup yaitu tahap pengobatan. tahap ini
menceritakan mungkin manusia di dunia tidak dipungkiri juga pernah ngalami sakit
akhirnya manusia sesudah hidup di dunia maka manusia harus menemui kematian.
Urutan pagelaran seperti itu tidak bisa diacak atau tidak diurutke, harus seperti
itu urutannya: Awal pertunjukan sesudah melihat kumpul sampai posisi melingkar
dan alat semuanya sudah disiapkan, maka pimpinan pertunjukan menhampiri pawang
yang menjadi pemenari laesan (LAES) untuk masuk tempat pertunjukan. Laes masuk
dan duduk di tengah tempat pementasan kemudian badannya ditali menggunakan tali
bersama mengucapkan tembang pembuka yang berbunya ”Lailahaillallah
Muhammadurrasulullah pengerane gawe laes” sampai diulang-ulangi. Sesudah itu,
di saat sepi dan tenang (konsentrasi) kemudian Laes dimasukkan di dalam sangkar
yang sudah ditutupi dengan kain mori dan di dalamnya ada kemenyan atau dupa
yang sudah dibakar dan juga ada baju ganti. suara alat musik terus mengalun
sambil menunggu sangkar mau bergerak. Mungkin sangkar tadi sudah bergerak maka
itu tanda Laes sudah mengalami masa trance dan pertanda mungkin Laes meminta
supaya cantrik ganti lagu “lepasno bandhan niro ini sari laes”. Kemudian pimpinan
pertunjukan meminta kepada panembang supaya lagunnya diganti lagu bandan (dodadan
tali). Setelah sangkar bergerak, cantrik bukak sangkar supaya Laes tidak dilihat
oleh penonton. Sesudah Laes ini keluar dari dalam sangkar sudah keadaan mata terpejam,
semua badan Laes yang diikat tali mulai dari leher, badan dan tangan tiba-tiba sudah
lepas sampai mata terpejam dan Laes sudah ganti baju dan ganti yang sebelum sudah
diletakkan di dalam sangkar tersebut. Kejadian itu hanya simbolik / tanda
mungkin sudah bergabungnya badan Laes dan bidadari. Karena badan Laes sudah lepas
dari ikatan tali, kemudian Laes memenari mengelilingi tempat pertunjukan dengan
mata terpejam. Laes akan berhenti menari pada saat lagu dinyanyikan sampai
salah dan pawongan yang menabuh melakukan ritual, seperti : penyanyi fals saat menyanyikan
lagu, penabuh tidak bisa mengiringi lagu yang dinyanyan dan saat penonton rame
(nyuwara banter). Di waktu itu kadadean tersebut kejadian, maka Laes mengamuk
dan jatuh atau gelimbungan di tanah dan dimasukkan didalam sangkar lagi. Setiap
Laes dimasukkan dalam sangkar, ini pertanda mungkin Laes meminta ganti
tembang-tembang lainnya. Tembang-tembangnya seperti tembang kembang manggis,
kembang tebu, tambak lebak, kembang turi, kendi pati dan sebagainya. Saat Laes sudah
dimasukkan di sangkar kemudian ditunggu sampai Laes berontak meminta dikeluarkan
dari sangkar kersebut. Yang kedua yaitu isi yang ada beberapa permainan,
seperti : jaran dhawuk, santrine adol gambir, santrine ajar pencak, celeng
boleng dan sebagainya. Dari beberapa permainan tersebut tersebut mempunyai lagu
khas sendiri-sendiri. Seperti permainan jaran dhawuk yaitu permain yang
membayangkan menaiki kuda. Kuda di sini menggunakan alat sapu kelut. Santrin penjual gambir menggunakan
perkakas tampah yang diisi sesajen. Permainan ini menceritaka pawongan yang
berjualan gambir. Dan santrinnya belajar pencak kehidupan jaman dulu. Dan tahap
kedua ini yang menggambarkan manusia yang hidup di dunia ini seperti berjualan
yang di istilah jawannya yaitu “urip di ndonyo mung mampir ngombe” karena besok
kita pasti kembali kepada Pangeran yang menciptakan hidup. Maka, pertunjukan
Laesan ini hanya untuk mengingatkan dengan paraga laesan atau pamiarsa untuk
bertindak baik karena kita pasti kembali kepada Pangeran yang menciptakan hidup
dan akan dimintai pertanggungjawaban apapun yang sudah kita kita lalui di dunia ini. Tahap
terakhir yaitu penutupan dari pertunjukan Budaya Laesan untuk penutupan,
pemimpin pertunjukan mengembalikan Laes supaya sadar seperti sebelumnya.
Kemenyan yang ada di pinggir tempat pentas dikipasi lagi supaya asapnya mengepul
dan keluar. Sesudah asap mengepul, Laes ditutup lagi dengan sangkar yang sudah
penuh dengan asap kemenyan. Sadarnya Laes ditandai dengan Laes yang sudah tidak
mengalami masa trance. Selesailah semua pementasan Budaya Kesenian Laesan.
Namun, tahap ini juga mempunyai ciri khas yaitu ada di tembang SAYUNG-SAYUNG
yaitu : lara tangis layung-layung, larane
wong wedi mati sapa bisa ngeldina kejaba pengeran kula.
Pada tahap ini
ngengetaken madawa mesthine kita sawektu-wektu tidak bisa mlayu dari
syakaratulmaut atau kita mesrhi balik marang Pangeran yang gawe urip ini.
menyeramkan ya foto nya hahaha
BalasHapusSejarahnya laesan itu gimana ya? Maksudku asal mulanya ada laesan
BalasHapus